Selasa, 06 Maret 2012

Desa Entikong, Nasib WNI di Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia yang Penuh Derita

Bantu Share aja ni gan, ane abis liyat tayangan di Metro, perbatasan indonesia-malaysia, miris gan lyt kehidupan WNI diperbatasan yang serba susah. Cermin dari ketidakpedulian Pemerintah & kembali hanya mengumbar janji-janji kosong. 


Hidup di daerah perbatasan, seringkali lebih susah. Seperti warga yang tinggal di Desa Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur). Meski susah, tapi tak ada pilihan bagi mereka, selain harus menjalaninya.

Di Entikong punya jalur darat yang menghubungkan Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam. Untuk mencapai daerah itu dari Pontianak (ibu kota Kalimantan Barat), jarak yang harus ditempuh 314 kilo meter. Jika lewat jalur darat, butuh waktu antara 8-9 jam. Itu pun, sepanjang perjalanan, jauh dari rasa nyaman, karena kondisi jalan yang aspalnya 80 persen rusak parah. Bahkan, ada jalan panjangnya sekitar 30 kilometer yang sama sekali belum diaspal. 

Tiba sekitar pukul 11.00 WIB, Jawa Pos dan rombongan disambut Markus Sopyan, Kepala Desa Entikong. Kami lantas diajak berkeliling. Tampak deretan warung-warung kaki lima yang penataannya terkesan kumuh. Ketika lebih dekat mampir ke warung itu, beberapa produk makanan dan minumannya banyak didominasi produk Malaysia.

“Di sini, produk-produk dari Malaysia kita sebut produk SDN BDH. Kami suka, karena lebih murah, juga gampang mendapatkannya,” ujar pria paruh baya ini. Raden Nurdin, Ketua Persatuan Pemuda Perbatasan Entikong yang ditemui Jawa Pos mengatakan, warga di Entikong sangat tergantung dengan Malaysia. Dia menambahkan, sebagian besar kebutuhan pokok warga Entikong terutama gula, makanan kaleng dan kemasan berasal dari negeri jiran itu. “Karena itu kami lebih suka damai saja dengan Malaysia,” ujarnya.

Nurdin mengakui, tinggal di perbatasan sering menemui kesulitan alias susah. Hal itu karena minimnya infrastruktur dan fasilitas umum yang dibangun pemerintah Indonesia. “Kami bosan dengan janji pemerintah yang katanya akan memajukan daerah di perbatasan, tapi sampai sekarang omong kosong,” kata pria 35 tahun ini. “Padahal, setiap presiden sudah pernah ke sini,” lanjutnya.

Ketika harus menggunakan tabung gas, Nurdin sampai rindu supaya bisa menggunakan produk Pertamina yang warna biru. “Selama belasan tahun, kami pakai tabung gas Petronas 14 kilogram bersubsidi,” paparnya. Tabung itu dijual dengan harga 27 ringgit, atau setara Rp84 ribu.

“Bahkan rasa minyak goreng asal Jakarta yang ada di iklan-iklan televisi itu juga belum pernah sampai di lidah anak saya,” terang dia.
Untuk bisa mendapatkan siaran televisi Indonesia, warga Entikong harus rela merogok kocek lebih dalam. Karena mereka harus membeli parabola dan receiver yang berharga mulai Rp2 juta – Rp3 juta. Sedangkan, untuk bisa menangkap siaran televisi Malaysia cukup hanya dengan membeli antena TV standar. Dengan tiang pancang setinggi 5-6 meter saja, siaran televisi Malaysia tertangkap dengan gambar sangat jelas.

Susahnya hidup di daerah perbatasan juga dirasakan Taufik Ardiwibowo. Pria 29 tahun asal Jember ini sudah tinggal di Entikong selama lima tahun, bahkan menikah dengan warga setempat. Taufik menceritakan, setiap dua hari sekali dia menyeberang ke Tebedu. Dia bersama istrinya rutin berbelanja di sebuah minimarket yang terletak hanya dua kilometer dari perbatasan Malaysia. Di swalayan bernama Sin Guan Tai itu dia biasa membeli kebutuhan sehari-hari. “Karena ada juga keluarga istri yang tinggal di wilayah Malaysia. Kebanyakan warga sini punya saudara di Tebedu jadi kami biasa wira-wiri,” terang dia dengan logat Jawa kental.

Pemerintah memang menetapkan aturan khusus bagi warga perbatasan Malaysia. Mereka diperbolehkan melakukan transaksi dan membeli barang asal Malaysia tanpa bea cukai dengan syarat memiliki Kartu Pas Lintas Batas (PLB). Namun, tiap kepala keluarga hanya bisa membeli maksimal 600 ringgit atau sekitar Rp1,8 juta saja tiap bulan. Menurut Taufik, nilai itu sangat kecil karena tidak mungkin kebutuhan istri dan dua anaknya bisa dipenuhi dengan aturan itu. “Dengan 600 ringgit itu hanya bisa dapat sembako. Kalau anak kami butuh susu kami jadi repot,” ujar dia.

Padahal, barang Indonesia sulit didapat. Untuk bisa mendapatkan makanan bermerek lokal, paling tidak warga harus menempuh perjalanan sekitar 50 kilometer ke ibukota Kabupaten Sanggau. Jarak itu bisa ditempuh dengan perjalanan dua jam. “Itu pun dengan harga cukup mahal jika dibanding dengan barang sama di Jawa. Misalnya susu, bisa naik 20 persen lah dari harga normal,” terang Taufik.

Mantan TKI itu pun lantas membuka dompetnya dan menunjukkannya kepada Jawa Pos. Di dalamnya terdapat tiga jenis mata uang. Yakni, Rupiah, Ringgit, dan mata uang Brunei. Itu untuk memudahkan jika sewaktu-waktu ada warga Malaysia yang melintas batas dan menjajakan kebutuhan pokok dengan cara di bawah tangan.
Untuk melintasi perbatasan, baik dari Indonesia ke Malaysia atau sebaliknya lewat Entikong, umumnya dijaga cukup ketat. Misalnya di pos Tebedu. Meski demikian, pemeriksaan yang ketat itu dimanfaatkan para calo Indonesia. Mereka memasang tarif rata-rata 50 ringgit atau Rp150 ribu. “Banyak calo yang kenal dekat dengan petugas jadi mereka bisa melobi dan main mata agar WNI lolos pemeriksaan,” ujar Munadi seorang warga Pontianak yang kerap melintas batas ke Kuching.
Setelah melewati pos pemeriksaan Tebedu, pemandangan yang sangat indah langsung menyambut. Di sisi kanan jalan raya terdapat sebuah taman dengan fasilitas air mancur dengan jaringan Wifi gratis.
Menurut Camat Entikong, Ignatius Irianto, rutinnya aktivitas warga perbatasan melintas ke Tebedu dan wilayah-wilayah Malaysia lain memunculkan problem tersendiri. Tak sedikit warga yang lebih merasa nyaman dengan Negeri Jiran. Dia mengakui bahwa ada ratusan warga di wilayahnya dalam dua dekade terakhir hijrah menjadi warga negara Malaysia. Itu karena minimnya infrastruktur dan keterbelakangan ekonomi di wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia. “Semua akibat faktor ekonomi,” keluh irianto.

Kebanyakan WNI yang hijrah menjadi warga negara Malaysia itu berasal dari Suruh Tembawang, salah satu desa di wiayah Entikong. Suruh Tembawang adalah desa paling terpencil di perbatasan RI-Malaysia. Desa itu berjarak sekitar 64 kilometer dari Entikong, Ibukota Kecamatan.
Irianto juga mengkhawatirkan nasib Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di perbatasan. Karena sulitnya akses, tak jarang mereka hidup serbasusah. Untuk mengambil gaji bulanan saja, perjalanan dari Suruh Tembawang ke Entikong membutuhkan dana sedikitnya Rp1 juta untuk menyewa perahu motor. Jika ingin lebih mudah, maka mereka harus menyeberang sungai ke wilayah Malaysia dan berjalan melintasi hutan selama sehari penuh untuk bisa mencapai masuk kembali ke wilayah Indonesia via Tebedu-Entikong “Apa yang terjadi jika ada di antara mereka bergaji kurang dari Rp 1 juta? Anda coba bantu saya menjawab,” katanya.

Padahal, ada lima sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menengah pertama (SMP) di Suruh Tembawang. Namun terbatasnya infrastruktur membuat tidak semua warga usia sekolah yang bisa sekolah. Sedangkan untuk kesehatan, terdapat satu pos kesehatan desa di Dusun Suruh Tembawang.                                                                                     By : yanto st

Tidak ada komentar:

Posting Komentar