Hidup di daerah perbatasan sering lebih susah. Misalnya, warga yang tinggal di Desa Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur). Meski serbasulit, tak ada pilihan bagi mereka selain harus menjalaninya.
yanto st.
Entikong memiliki jalur darat yang menghubungkan Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam. Untuk mencapai daerah itu dari Pontianak (ibu kota Kalimantan Barat), jarak yang harus ditempuh 314 kilometer. Jika lewat jalur darat, butuh waktu 8-9 jam. Itu pun, sepanjang perjalanan, jauh dari rasa nyaman karena kondisi jalan yang aspalnya 80 persen rusak parah. Bahkan, ada jalan sekitar 30 kilometer yang sama sekali belum diaspal.
Itulah yang dirasakan Jawa Pos ketika mengikuti rombongan tim sosialisasi tahap pemilihan presiden (pilpres) oleh Depkominfo Kamis siang lalu (18/6/2009). Tiba sekitar pukul 11.00 WIB, Jawa Pos dan rombongan disambut Markus Sopyan, kepala desa Entikong. Kami lantas diajak berkeliling. Tampak deretan warung-warung kaki lima yang penataannya terkesan kumuh. Ketika lebih dekat mampir ke warung itu, beberapa produk makanan dan minuman didominasi produk Malaysia. ''Di sini produk-produk dari Malaysia kita sebut produk SDN BHD. Kami suka karena lebih murah, juga gampang mendapatkan,'' ujar pria paruh baya itu.
Raden Nurdin, ketua Persatuan Pemuda Perbatasan Entikong, yang ditemui Jawa Posmengatakan bahwa warga di Entikong sangat bergantung kepada Malaysia. Dia menambahkan, sebagian besar kebutuhan pokok warga Entikong, terutama gula, makanan kaleng, dan kemasan, berasal dari negeri jiran itu. ''Karena itu, kami lebih suka damai saja dengan Malaysia,'' ujarnya.
Nurdin mengakui, tinggal di perbatasan sering menemui kesulitan alias susah. Hal itu terjadi karena minimnya infrastruktur dan fasilitas umum yang dibangun pemerintah Indonesia. ''Kami bosan dengan janji pemerintah yang katanya akan memajukan daerah di perbatasan, tapi sampai sekarang omong kosong,'' kata pria 35 tahun itu. ''Padahal, setiap presiden sudah pernah ke sini,'' lanjutnya.
Ketika harus menggunakan tabung gas, Nurdin sampai rindu supaya bisa menggunakan produk Pertamina yang warna biru. ''Selama belasan tahun kami pakai tabung gas Petronas 14 kilogram bersubsidi,'' paparnya. Tabung itu dijual dengan harga 27 ringgit atau sekitar Rp 84 ribu.
''Bahkan, rasa minyak goreng asal Jakarta yang ada di iklan-iklan televisi itu juga belum pernah sampai di lidah anak saya,'' terang dia.
Untuk bisa mendapatkan siaran televisi Indonesia, warga Entikong harus rela merogoh kocek lebih dalam. Sebab, mereka harus membeli parabola dan receiver yang berharga Rp 2 juta-Rp 3 juta. Sedangkan untuk bisa menangkap siaran televisi Malaysia, warga cukup hanya membeli antena TV standar. Dengan tiang pancang setinggi 5-6 meter, siaran TV Malaysia tertangkap dengan gambar sangat jelas.
Susahnya hidup di daerah perbatasan juga dirasakan Taufik Ardiwibowo. Pria 29 tahun asal Jember itu sudah lima tahun tinggal di Entikong. Bahkan, dia menikah dengan warga setempat. Taufik menceritakan, setiap dua hari dirinya menyeberang ke Tebedu. Dia bersama istrinya rutin berbelanja di sebuah minimarket yang berjarak hanya dua kilometer dari perbatasan Malaysia. Di swalayan bernama Sin Guan Tai itu dia biasa membeli kebutuhan sehari-hari. ''Sebab, ada juga keluarga istri yang tinggal di wilayah Malaysia. Kebanyakan warga sini punya saudara di Tebedu. Jadi, kami biasa wira-wiri,'' terang dia dengan logat Jawa kental.
Pemerintah memang menetapkan aturan khusus bagi warga perbatasan Malaysia. Mereka diperbolehkan bertransaksi dan membeli barang asal Malaysia tanpa bea cukai dengan syarat memiliki Kartu Pas Lintas Batas (PLB). Namun, tiap kepala keluarga hanya bisa membelanjakan maksimal 600 ringgit atau sekitar Rp 1,8 juta setiap bulan. Menurut Taufik, nilai itu sangat kecil karena tidak mungkin kebutuhan istri dan dua anaknya bisa dipenuhi dengan aturan itu. ''Uang 600 ringgit itu hanya bisa dapat sembako. Kalau anak kami butuh susu, kami menjadi repot,'' ujarnya.
Padahal, barang Indonesia sulit didapat. Untuk bisa mendapatkan makanan bermerek lokal, paling tidak warga harus menempuh perjalanan sekitar 50 kilometer ke ibu kota Kabupaten Sanggau. Jarak itu bisa ditempuh dengan perjalanan dua jam. ''Itu pun dengan harga cukup mahal jika dibandingkan dengan barang sama di Jawa. Misalnya, susu bisa naik 20 persen lah dari harga normal,'' terang Taufik.
Mantan TKI itu lantas membuka dompet dan menunjukkan kepada Jawa Pos. Di dalamnya ada tiga jenis mata uang. Yaitu, rupiah, ringgit, dan mata uang Brunei. Itu dilakukan untuk memudahkan jika sewaktu-waktu ada warga Malaysia yang melintas batas dan menjajakan kebutuhan pokok di bawah tangan. Pelintas perbatasan, baik dari Indonesia ke Malaysia maupun sebaliknya lewat Entikong, umumnya diperiksa cukup ketat. Misalnya di pos Tebedu. Namun, pemeriksaan yang ketat itu dimanfaatkan para calo Indonesia. Mereka memasang tarif rata-rata 50 ringgit atau sekitar Rp 150 ribu. ''Banyak calo yang kenal dekat dengan petugas. Jadi, mereka bisa melobi dan main mata agar WNI lolos pemeriksaan,'' ujar Munadi, seorang warga Pontianak, yang kerap melintas batas ke Kuching.
Setelah melewati pos Tebedu, pemandangan sangat indah langsung menyambut. Di sisi kanan jalan raya terdapat sebuah taman dengan fasilitas air mancur dan jaringan Wifi gratis.
Menurut Camat Entikong Ignatius Irianto, aktivitas warga perbatasan melintas ke Tebedu dan wilayah-wilayah Malaysia lain memunculkan problem tersendiri. Tak sedikit warga yang merasa lebih nyaman dengan negeri jiran itu. Dia mengakui bahwa ada ratusan warga Entikong yang dalam dua dekade terakhir hijrah menjadi warga negara Malaysia. Itu semua karena minimnya infrastruktur dan keterbelakangan ekonomi di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. ''Semua akibat faktor ekonomi,'' keluh Irianto.
Kebanyakan WNI yang berpindah menjadi warga negara Malaysia berasal dari Suruh Tembawang, salah satu desa di wiayah Entikong. Suruh Tembawang adalah desa yang sangat terpencil di perbatasan RI-Malaysia. Desa itu berjarak sekitar 64 kilometer dari Entikong, ibu kota kecamatan.
Irianto juga mengkhawatirkan nasib pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di perbatasan. Karena sulitnya akses, tak jarang mereka hidup serbasusah. Untuk mengambil gaji bulanan saja, mereka harus mengeluarkan dana sedikitnya Rp 1 juta untuk menyewa perahu motor.
Jika ingin lebih mudah, mereka harus menyeberangi sungai ke wilayah Malaysia dan berjalan melintasi hutan sehari penuh untuk bisa masuk kembali ke wilayah Indonesia via Tebedu-Entikong ''Apa yang terjadi jika ada di antara mereka bergaji kurang dari Rp 1 juta? Anda coba bantu saya menjawab,'' katanya.
Ada lima sekolah dasar (SD) dan satu sekolah menengah pertama (SMP) di Suruh Tembawang. Namun, terbatasnya infrastruktur membuat tidak semua warga usia sekolah yang bisa sekolah. Sedangkan untuk kesehatan, terdapat satu pos kesehatan desa di Dusun Suruh Tembawang.
By : yanto st.
Senin, 05 Maret 2012
KAWASAN PERBATASAN ENTIKONG Perjalanan Panjang Menuju Beranda Depan
PERJALANAN MENUJU ENTIKONG
Untuk menuju Entikong dari Pontianak
dapat ditempuh melalui jalan trans Kalimantan
poros selatan sampai kecamatan Tayan kemudian
melintas ke Utara melewati kecamatan Batang
Tarang, Sosok, Kembayan dan akhirnya masuk ke
Entikong melalui jalan trans Kalimantan poros
Utara. Jalan trans Kalimantan baik poros selatan
maupun utara pada umumnya kondisinya baik.
Jarak dari Pontianak sampai Entikong 310 km
dengan waktu tempuh kurang lebih 7 jam.
KONDISI SOSIAL BUDAYA, EKONOMI DAN FISIK LINGKUNGAN KECAMATAN ENTIKONG
Laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Kecamatan Entikong adalah 9,51% per tahun. Angka ini sangat
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Sanggau yang hanya 1,44% per tahun. Adapun jenis pekerjaan
penduduknya didominasi oleh lapangan pekerjaan dalam bidang pertanian. Apabila dilihat dari ragam jenis etnis
masyarakatnya, disini sangat heterogen antara lain etnis Dayak, Melayu, Jawa, Cina, Banjar, Bugis. Karena etnisnya sangat beragam maka agama yang
dianut juga beragam. Namun demikian toleransi
keberagamaan di wilayah ini sangat tinggi.
Kondisi sosial ekonomi di Kecamatan
Entikong bila dilihat dari pendapatan perkapita
penduduknya pada tahun 2005 adalah Rp 2,8 juta
(berdasarkan harga konstan). Kondisi ini berada
pada urutan ke 10 dari total 15 kecamatan yang
ada di Kabupaten Sanggau. Namun bila ditinjau
dari pertumbuhannya menunjukkan angka yang
cukup signifikan yaitu sekitar 5% bila
dibandingkan pada tahun sebelumnya. Aktifitas ekonomi di kawasan perbatasan Entikong ini menunjukkan
fenomena yang cukup menarik bila dicermati dari lalu lintas keluar masuknya barang melalui PPLB nya. Pada
tahun 2005 nilai barang masuk sebesar 748.328,54 USD sedangkan nilai barang keluar sebesar 2.231.714,16
USD. Angka ini menunjukkan nilai surplus perdagangan dengan Malaysia yang tentunya merupakan prospek
yang perlu terus dipacu pada masa yang akan datang. Dengan memperbaiki infrastruktur ekonomi di kawasan ini
maka diharapkan kinerja ekonomi dapat meningkat sehingga memberi manfaat langsung dalam kesejahteraan
penduduknya.
Keadaan topografi Kecamatan Entikong bervariasi dengan dominasi bentuk permukaan daratan
bergelombang, perbukitan rendah sampai pegunungan yang meliputi 90% dari luas wilayahnya. Fisik lingkungan
yang berupa deretan pegunungan, secara geografis terletak membujur Timur – Barat sepanjang garis perbatasan
Negara. Bentang alam ini tentu saja merupakan suatu potensi alam yang secara alamiah membentuk batas
pemisah antar Negara.
Curah hujan di kawasan ini cukup tinggi
yaitu rata-rata 2.856 mm/tahun dengan rata-rata
hari hujan 196 hari/tahun. Secara hidrologis
kecamatan ini dilalui oleh Sungai Sekayam yang
merupakan anak Sungai Kapuas. Keberadaan
sungai ini memiliki peran yang penting dalam
memacu tumbuhnya pusat-pusat permukiman
penduduk di sekitarnya. Penggunaan lahan di
Kecamatan Entikong di dominasi oleh areal hutan
dan pertanian. Sekitar 60% wilayahnya
merupakan kawasan lindung (30.413 Ha), dan
hanya 40% (20.276 Ha) yang merupakan kawasan
budidaya.
PROGRAM DAN KEGIATAN JANGKA MENENGAH
KOTA ENTIKONG TAHUN 2007 – 2010 PROGRAM
PEMBANGUNAN GEDUNG TRANSITO TKI DAN
PENINGKATAN KETRAMPILAN TKI
Kegitan Peningkatan sarana dan prasaranan
pelayanan Gedung Transito TKI.
Kegiatan Pembangunan BLK untuk Peningkatan
Ketrampilan TKI beserta Pengadaan Sarana dan
Parasarana pendukung. By: yanto st.
Untuk menuju Entikong dari Pontianak
dapat ditempuh melalui jalan trans Kalimantan
poros selatan sampai kecamatan Tayan kemudian
melintas ke Utara melewati kecamatan Batang
Tarang, Sosok, Kembayan dan akhirnya masuk ke
Entikong melalui jalan trans Kalimantan poros
Utara. Jalan trans Kalimantan baik poros selatan
maupun utara pada umumnya kondisinya baik.
Jarak dari Pontianak sampai Entikong 310 km
dengan waktu tempuh kurang lebih 7 jam.
KONDISI SOSIAL BUDAYA, EKONOMI DAN FISIK LINGKUNGAN KECAMATAN ENTIKONG
Laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Kecamatan Entikong adalah 9,51% per tahun. Angka ini sangat
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Sanggau yang hanya 1,44% per tahun. Adapun jenis pekerjaan
penduduknya didominasi oleh lapangan pekerjaan dalam bidang pertanian. Apabila dilihat dari ragam jenis etnis
masyarakatnya, disini sangat heterogen antara lain etnis Dayak, Melayu, Jawa, Cina, Banjar, Bugis. Karena etnisnya sangat beragam maka agama yang
dianut juga beragam. Namun demikian toleransi
keberagamaan di wilayah ini sangat tinggi.
Kondisi sosial ekonomi di Kecamatan
Entikong bila dilihat dari pendapatan perkapita
penduduknya pada tahun 2005 adalah Rp 2,8 juta
(berdasarkan harga konstan). Kondisi ini berada
pada urutan ke 10 dari total 15 kecamatan yang
ada di Kabupaten Sanggau. Namun bila ditinjau
dari pertumbuhannya menunjukkan angka yang
cukup signifikan yaitu sekitar 5% bila
dibandingkan pada tahun sebelumnya. Aktifitas ekonomi di kawasan perbatasan Entikong ini menunjukkan
fenomena yang cukup menarik bila dicermati dari lalu lintas keluar masuknya barang melalui PPLB nya. Pada
tahun 2005 nilai barang masuk sebesar 748.328,54 USD sedangkan nilai barang keluar sebesar 2.231.714,16
USD. Angka ini menunjukkan nilai surplus perdagangan dengan Malaysia yang tentunya merupakan prospek
yang perlu terus dipacu pada masa yang akan datang. Dengan memperbaiki infrastruktur ekonomi di kawasan ini
maka diharapkan kinerja ekonomi dapat meningkat sehingga memberi manfaat langsung dalam kesejahteraan
penduduknya.
Keadaan topografi Kecamatan Entikong bervariasi dengan dominasi bentuk permukaan daratan
bergelombang, perbukitan rendah sampai pegunungan yang meliputi 90% dari luas wilayahnya. Fisik lingkungan
yang berupa deretan pegunungan, secara geografis terletak membujur Timur – Barat sepanjang garis perbatasan
Negara. Bentang alam ini tentu saja merupakan suatu potensi alam yang secara alamiah membentuk batas
pemisah antar Negara.
Curah hujan di kawasan ini cukup tinggi
yaitu rata-rata 2.856 mm/tahun dengan rata-rata
hari hujan 196 hari/tahun. Secara hidrologis
kecamatan ini dilalui oleh Sungai Sekayam yang
merupakan anak Sungai Kapuas. Keberadaan
sungai ini memiliki peran yang penting dalam
memacu tumbuhnya pusat-pusat permukiman
penduduk di sekitarnya. Penggunaan lahan di
Kecamatan Entikong di dominasi oleh areal hutan
dan pertanian. Sekitar 60% wilayahnya
merupakan kawasan lindung (30.413 Ha), dan
hanya 40% (20.276 Ha) yang merupakan kawasan
budidaya.
PROGRAM DAN KEGIATAN JANGKA MENENGAH
KOTA ENTIKONG TAHUN 2007 – 2010 PROGRAM
PEMBANGUNAN GEDUNG TRANSITO TKI DAN
PENINGKATAN KETRAMPILAN TKI
Kegitan Peningkatan sarana dan prasaranan
pelayanan Gedung Transito TKI.
Kegiatan Pembangunan BLK untuk Peningkatan
Ketrampilan TKI beserta Pengadaan Sarana dan
Parasarana pendukung. By: yanto st.
Langganan:
Postingan (Atom)